Review Jurnal Hukum Perjanjian
STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
DALAM HUKUM NASIOANAL RI
Tiinjaun Dari Perspektif Praktik
Indonesia
Damos
Dumoli Agustman
Anggota
Kelompok :
Doriah
Afni Panjaitan 22210154
Lufi
Wahyuni Azizah
Mira
Meidiani Suryadi
M.
Naufal
Vira
Aqmarina Sabila
ABSTRAK
Hukum doktrin dan praktik indonesia tentang status
perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan
seringkali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian
internasional di dalam kerangka sistem hukum nasional.Tantangan ini telah
mengharuskan indonesia untuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik
hukum) yang mengatur hubungan kedua sistem hukum ini. Kebijakn tersebut akan
menentukan stastus perjanjian internasional , memberikan arah bagi konsistensi
penerapan perjanjian internasional, dan menentukan sejauh mana hukum
internasional dapat mempengaruhi sisten hukum nasional.
PENDAHULUAN
Secara teoritis persoalan berakar pada ketidakjelasan
tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia tentang hubungan hukum
internasional dan hukum nasional .
Dalam
teori , terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu :
a. Aliran Duralisme yang menempatkan hukum
internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional.
b. Aliran mononisme yang menempatkan hukum
internasional dan hukum nasional sebagai bagain dari satu kesatuan sistem
hukum.
Selain
kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukum
internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
Pada negara-negara hukum modern seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa
Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan ini telah digulirkan
sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses
legislasi maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu
pilihan politik hukum baik mononisme, dualisme maupun kombinasi keduanya. Pada
negara-negara tersebut, persoalan status hukum internasional, baik hukum
kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional dalam hukum nasional
mereka telah tuntas dan pada umumnya dapat dipetakan sebagai penganut aliran
monisme(Belanda, Jerman, Perancis), dualisme (AS, Inggris, Australia) atau
kombinasi keduanya (Indonesia?)
Sistem hukum indonesia sayangnya belum mengindikasikan
apakah menganut monisme, dualisme, dan kombi nasi keduanya. Namun didalam
literatur Indonesia , Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar hukum
Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia
mengarahpada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian
hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional yang
diharpkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah
ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian
internasional dalam hukum nasional. Menurut pengamat penulis sebagai salah satu
anggota yang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan
ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini,
yaitu:
1. Para perumus UU
ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembambang saat ini melalui pandangan
proft. Mochtar kusumaatmadja yang mengidikasikan bahwa Indonesia menganut
aliran monisme primat hukum Internasional.
2. UU ini hanya
merupakan kodifikasi dari praktik negara RI tentang pembuatan perjanjian
internasional yang sebelumnya dilandaskan pada surat Presiden RI
No.1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian-perjanjian dengan
negara lain.
3. Dunia akademis pada
waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan hukum
internasional dan nasional.
4. Jurisprudensi
Indonesia belum memberi kontribusi untuk terindefikasinya persoalan ini
sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu mendapat perhatian
perumusan UU ini. Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara
hukum internasional dan nasional semakin Intensif dan bahkan acapkali
melahirkan benturan.Akibatnya, Semua negara termasuk Indonesia tidak dapat lagi
dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan
kedua sistem ini.
PEMBAHASAN
Terhadap pertanyaan ini, UU No. 24/2000 tentang perjanjian
Internasional juga tidak terlalu tegas memberikan jawaban. Alur pikiranpara
perumus UU ini di dominasi oleh pemikiran monisme. Akibatnya,UU ini hanya
menyentuh konsep ratifikasi (pegesahan) dari dimensi hukum internasional
sehingga tidak memberikan rumusan apa pun tentang konsep ini dalam dimensi
hukum nasional.
Mahkamah Konstitusi dalan judical review tentang UU No. 27
tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsilisasi telah melakukan rujukan
langsung pada ” praktik dan kebiasan internasional secara universal”.
Terobosan ini sangat menarik dalam diskusi monisme-dualisme karena menimbulkan
pertanyaan tentang bagaimana hakim dapat terkait pada kaidah hukum
internasional .
Dalam praktik negara, adanya perjanjian internasional yang
mengharuskan negara mengubah hukum bukan suatu yang lazim. Asumsi dasar dari
perspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untuk
membuar perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Juru
runding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU
Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian
harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respectivelaws and
regulations) sangat ditekankan oleh i ndonesia dalam rangka mengamankan serta
untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati tetap dalam koridor
hukum nasional .
Globalisasi juga ditandai dengan berkembangbiaknya perjanjian-perjanjian
internasional yang mencoba mengatur permasalahan-permasalahan yang menjadi
domain hukum nasional. Perjanjian-perjanjian semacam ini tidak langsung
menciptakan aturan melainkan hanya melakukan standard-setting yang kemudian
akan diundangkan oleh negara-negara angota dalam hukum nasionalnya. Perjanjian
ini tidak menciptakan norma itu sendiri melainkan mewajibkan negara anggota
untuk membuat UU nasional yang menciptakan norma-norma dimaksud. Contoh
perjanjian ini adalah konvensi tentang hukum perdata internasional, HAKI, anti
korupsi, organiasi kriminal, terorganisasi dan lain-lain. Dalam perspektif
hubungan hukum internasional dan hukum nasional, perjanjian semacam ini acap
kali dijadikan contoh secara kurang tepat. UU anti korupsi sering diartikan
sebagai UU yang mentransformasikan konvensi anti korupsi, atau UU paten atau
merk selalu di artikan sebagai UU yang mentransformasikan konvensi tentang
patent/trademark. Menurut penulis, UU dimaksud bukanlah UU tranformasin dalam
perspektif dualisme,melainkan UU yang mengimplementasikan kewajiban negara
anggota terhadan konvensi untuk mengundangkannya dalam hukum nasional terlepas
dari aliran apa pun yang di anut oleh indonesia. Konvensi dimaksud tidak
bersentuhan dengan hukum nasional karena materi yang dimaksud oleh konvensi
berda pada domain hukum nasional. Konvensi-konvensi dimaksud hanya membatasi
diri pada formula each stat shall adopt in its national legislation... dengan
demikian, UU yang mengimplementasikan konvensi-konvensi yang bersifat standard
setting tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan hukum internasional dan
hukum nasional. Kejelasan doktrin dan hukum yang mengaur tentang hubungan hukum
internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi
indonesia.
Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum indonesia untuk
mulai mengenbangkan aturan tentan hubungan hukum internasional dan hukum
nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional
dalam hukum nasional. Penelitian akademis perihal ini seharusnya sudah harus
dimulai dan dikembangkan. Pengguliran yang dimulai dari wacana akademis memang
lebih disarankan ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada kecendrungan praktik
indonesia. Praktik indonesia sepanjang tiedak dibangun oleh suatu doktrin dan
kajian akademis yang memadai tetap akan menunjukan inkonsistensi yang mengarah
pada ketidak pastian hukum.
Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan
hukum nasional. Pasal 26 vienna convetion 1969 on the law treaties mengatur
prinsin fundamental hukum perjanjian internasional,pacta sunt servanda yang
menyatakan perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus
dilaksanakan dengat iktikad baik.
KESIMPULAN
Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional menekankan
bahwa maksud negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan
hukum nasional. Pada era reformasi terdapat kecendrungan untuk menyesuaikan
dulu hukum nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Derasnya
arus globalisasi memgakibatkan persentuhan antara hukum internasional dan
nasional semakin intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan.
Lebih
lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi
kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian
internasional. Sumber : isjd.pdii.lipi.go.id
0 Response to "Review Jurnal Hukum Perjanjian"
Posting Komentar